Oleh : KH Hafidz Abdurrahman, MA
Jual-beli [bai’] adalah akad pertukaran antara barang dengan barang. Akad, baik akad jual-beli [bai’], kontrak jasa [ijarah], maupun akad-akad yang lain, adalah bentuk keterikatan [irtibath] antara ijab [penawaran] dan qabul [penerimaan] dalam bentuk yang dibenarkan oleh syariah [‘ala wajhin masyru’], dengan konsekuensi pada posisinya masing-masing [ma’a al-atsar fi mahallihi]. Karena itu, akad ini bersifat mengikat [lazim].
Karena jual-beli ini merupakan akad yang bersifat mengikat [lazim], bukan akad yang bersifat tidak mengikat [jaiz], maka konsekuensi dari akad ini, yaitu pertukaran barang yang dibeli penjual [mabi’], dengan barang yang diberikan pembeli [tsaman] mengikat masing-masing pihak. Begitu serah terima [qabdh] dilakukan, khususnya untuk barang yang membutuhkan syarat serah-terima, maka akad tersebut tidak bisa dibatalkan. Inilah yang dimaksud, bahwa akad jual-beli ini bersifat mengikat [lazim].
Pada saat yang sama, akad apapun, selalu melibatkan kehendak kedua belah pihak [iradah musytarakah]. Karena itu, konsekuensinya mengikat bagi kedua belah pihak. Jika kehendaknya hanya sepihak [iradah munfaridah], seperti hibah, hadiah, pembagian zakat, dan sejenisnya, maka tindakan ini tidak disebut akad, karena tidak melibatkan kehendak kedua belah pihak, tetapi disebut tasharruf.
Bedanya, akad, karena melibatkan kehendak bersama, dan harus dilakukan dengan suka rela, maka masing-masing pihak yang melakukan akad tidak boleh dipaksa. Karena itu, konsekuensinya juga mengikat kedua belah pihak. Ini berbeda dengan tasharruf, yang dilakukan atas kehendak sepihak, seperti hibah, hadiah, pembagian zakat, maka tidak membutuhkan persetujuan apapun dari pihak yang menerima hibah, hadiah atau zakat.
Inilah bedanya antara akad dengan tasharruf. Karena itu, dalam akad jual-beli, ketika penjual dan pembeli sepakat melakukan akad jual-beli, maka ini merupakan satu akad. Pada saat yang sama, penjual memberikan bonus atau hadiah kepada pembeli berupa barang tertentu, maka bonus atau hadiah ini statusnya bukan akad. Karena itu, jika dalam akad jual-beli dua tindakan ini, yaitu akad jual beli dan pemberian bonus atau hadiah dilakukan bersamaan, maka ini tidak termasuk dalam kategori dua akad dalam satu transaksi [shafqataini fi shafqah]. Karena yang satu, yaitu jual-beli, adalah akad, sedangkan yang lain, yaitu pemberian bonus atau hadiah, adalah bukan akad, tetapi tasharruf.
Dengan demikian, apa yang dinyatakan dalam hadits, “Naha Rasulu-Llah ‘an shafqataini fi shafqah” [Rasulullah saw. melarang dua akad dalam satu transaksi] [Hr. Ahmad dan al-Bazzar. Lihat, al-Haistami, Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, hadits no. 6382] tidak bisa diberlakukan dalam kasus jual-beli dengan bonus atau hadiah. Karena yang satu akad, yang satu lagi bukan akad. Karena itu, praktik jual-beli dengan memberikan bonus atau hadiah kepada pembeli hukumnya boleh.
Hanya saja, meski pemberian hadiah dan bonus tersebut tidak mengikat, tetapi bebas, sehingga bisa diberi atau tidak oleh penjual, maka ketika pemberian hadiah dan bonus ini bersifat mengikat, dimana pembeli menuntut pemberian hadiah dan bonus tersebut dari penjual, maka status pemberian hadiah dan bonus ini menjadi mengikat. Karena ketika pemberian hadiah dan bonus ini telah menjadi dituntut, artinya pemberian hadiah dan bonus yang asalnya bukan akad, dan tidak mengikat, akhirnya menjadi mengikat. Ini yang tidak boleh.
Di sisi lain, agar tidak termasuk dalam kategori melakukan kebohongan, maka penjual sebaiknya menyatakan, “dengan syarat dan ketentuan” misalnya, selama hadiah atau bonusyna masih ada. Wallahu a’lam.
Sumber Tulisan : https://www.facebook.com/mrosyidaziz/posts/1725293790854143