Tanya :
Ustadz, bagaimana hukum memelihara sapi yang pemeliharaannya kita titipkan ke orang lain dengan aqad bagi anak. Semisal tahun ini dia beranak maka anaknya milik si pemelihara dan jika tahun depan beranak maka anaknya milik si pemodal/pemilik sapi. Apakah itu dibolehkan? (Hamba Allah).
Jawab :
Terdapat khilafiyah di kalangan ulama mengenai syirkah seperti yang ditanyakan di atas, yaitu seseorang menyerahkan hewan ternaknya kepada orang lain untuk dipelihara dengan bagi hasil berupa anak yang akan dilahirkan dari hewan itu.
Syirkah seperti ini haram hukumnya menurut jumhur ulama, yakni ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.
Alasannya, jika akad tersebut dianggap syirkah, modalnya tidak sah karena berupa hewan, sebab modal syirkah itu seharusnya berupa uang tunai. Jika dianggap ijarah, juga tidak sah karena imbalannya majhûl, yakni tidak jelas jumlahnya. Imbalan (‘iwadh) dalam ijarâh itu harusnya berupa uang/barang/manfaat yang jelas jumlahnya (ma’lûm). (Muhammad Tâwîl, Al Syarikât wa Ahkâmuhâ fî Al Fiqh Al Islâmî, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2009, hlm. 75-76).
Sebagian ulama membolehkannya, seperti Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, Imam Ibnu Taimiyyah, dan Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, karena diqiyaskan dengan musâqâh dan muzâra’ah. (Ibnu Muflih, Al Furû’, IV/395; Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, I’lâmul Muwaqqi’în, IV/150).
Pendapat yang râjih (lebih kuat), adalah pendapat jumhur ulama yang mengharamkan karena dalilnya lebih kuat.
Sedang pendapat yang membolehkan, tidak dapat diterima karena qiyasnya lemah (marjûh).
Berikut ini sebagian pendapat ulama yang mengharamkan :
Imam Al Kamâl bin Al Humâm (ulama Hanafiyah) berkata :
إذَا دَفَعَ بَقَرَةً إلَى آخَرَ يَعْلِفُهَا لِيَكُونَ الْحَادِثُ بَيْنَهَا بِالنِّصْفِ فَالْحَادِثُ كُلُّهُ لِصَاحِبِ الْبَقَرَةِ
”Kalau seseorang menyerahkan sapi kepada orang lain untuk diberi pakan dengan ketentuan anak sapinya dibagi setengah setengah, maka semua anak sapi menjadi miliknya pemilik sapi [syirkahnya tidak sah].” (Fathul Qadîr, VI/121).
Imam Mâwardi (ulama Syafi’iyah) berkata :
وَلَوْ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَاشِيَةً لِيُعْلِفَهَا مُمْسِكًا لِرِقَابِهَا ، ثُمَّ يَقْتَسِمَانِ مَا يَدُرُّ مِنْ دُرِّهَا وَنَسْلِهَا لَمْ يَجُزْ
“Kalau seseorang menyerahkan hewan ternaknya [kepada orang lain] untuk diberi pakan…lalu keduanya berbagi hasil untuk air susunya atau anak hewan ternaknya, hukumnya tidak boleh.” (Al Hâwi Al Kabîr, VII/310).
Imam Ibnu Qudâmah (ulama Hanabilah) berkata :
وَلَوْ اسْتَأْجَرَ رَاعِيًا لِغَنَمٍ بِثُلُثِ دَرِّهَا وَنَسْلِهَا وَصُوفِهَا وَشَعْرِهَا ، أَوْ نِصْفِهِ ، أَوْ جَمِيعِهِ ، لَمْ يَجُزْ
”Kalau seseorang mempekerjakan penggembala untuk kambingnya dengan upah sepertiga dari air susunya, atau anak kambingnya, atau wol-nya…hukumnya tidak boleh.” (Al Mughnî, V/252).
Adapun pendapat yang mengqiyaskan syirkah tersebut dengan musâqâh dan muzâra’ah, tidak dapat diterima, dengan dua alasan :
Pertama, karena dalam musâqâh (bagi hasil merawat pohon) yang menjadi modal (ra`sul mal) adalah pohon, dan ini memang dibolehkan berdasarkan hadits Nabi SAW yang melakukan musâqâh di Khaibar (HR Muslim, no. 2897).
Sedang dalam syirkah yang ditanyakan di atas, yang menjadi modal (ra`sul mal) adalah barang (‘urûdh), dalam hal ini hewan ternak.
Padahal jumhur ulama berpendapat modal syirkah itu wajib berupa uang tunai, tidak boleh berupa barang (‘urûdh) seperti hewan ternak. (Al Fatâwâ Al Hindiyyah, 4/285; Imam Malik, Al Muwaththa`, II/689; Abu Ishaq Al Syirazi, Al Muhadzdzab, I/385; Ibnu Qudamah, Al Mughni, VII/123).
Kedua, karena muzâra’ah –atau disebut juga sewa lahan pertanian (ijâratul ardh)– justru haram hukumnya, sebagaimana pendapat yang râjih menurut Imam Ibnu Hazm dan Imam Taqiyuddin An Nabhani.
Imam Ibnu Hazm berkata :
لاَ تَجُوْزُ إِجَارَةُ اْلأَرْضِ أَصْلاً
”Tidak boleh menyewakan lahan pertanian sama sekali (lâ tajûzu ijâratul ardhi ashlan).” (Ibnu Hazm, Al Muhallâ, VIII/190).
Imam Taqiyuddin An Nabhani berkata :
لاَ يَجُوْزُ لِمَالِكِ اْلأَرْضِ أَنْ يُؤَجِّرَ أَرْضَهُ لِلزِّرَاعَةِ مُطْلَقاً
”Tidak boleh pemilik lahan pertanian menyewakan lahannya untuk keperluan pertanian secara mutlak.” (la yajûzu li mâlik al ardhi an yu`ajjira ardhahu li az zirâ’ah muthlaqan). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizhâm Al Iqtishâdî fî Al Islâm, hlm. 138).
Wallâhu a’lam.
Yogyakarta, 13 Desember 2021
Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi