Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11/PRT/M/2019 berencana akan merevisi tentang sistem Perjanjian Pendahuluan Jual-Beli Rumah (PPJB). Hal ini diharapkan bisa memberikan perbaikan bagi pengembang maupun konsumen.
Pasalnya, aturan baru dari PPJB tersebut menyatakan bahwa apabila pelaku pembangunan lalai memenuhi jadwal, calon pembeli dapat membatalkan pembelian rumah tunggal, rumah deret, atau rusun. Lalu, seluruh pembayaran yang diterima pelaku pembangunan harus dikembalikan sepenuhnya kepada calon pembeli.
Selain itu, apabila pembatalan bukan disebabkan oleh kelalaian pelaku pengembang atau developer maka pelaku penegembang atau developer mengembalikan pembayaran yang telah diterima kepada calon pembeli. DIterapkan potongan 10% dari pembayaran yang telah diterima oleh pelaku pembangunan dan ditambah biaya pajak yang telah diperhitungkan.
Bagi pengembang, risiko menjadi semakin tinggi, khususnya untuk proyek hunian vertikal (highrise strata title) yang perkembangan pembangunannya tidak bisa ditunda atau dihentikan sebagian.
Pemerhati Kebijakan Publik Agus Wahyudin mengatakan, pemerintah harus berimbang, baik kepada konsumen maupun kepada pengembang.
Sebelum direvisi, Permen No. 11/2019 tentang sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah itu dinilai tidak adil. Beberapa pasal dalam peraturan tersebut dinilai memberatkan pengembang.
Menurut dia, sudah seharusnya sebuah aturan dibuat dengan jelas dan berimbang dengan berpedoman pada dampak yang akan ditimbulkan. Dia mengatakan, apabila sebuah aturan memberatkan investor maka akan berdampak pada iklim investasi dan daya saing.
Kementerian PUPR sudah mendapatkan masukan dan usulan awal dari pengembang saat penyusunan Permen No. 11/2019. Namun saat diterbitkan, berbagai masukan tersebut tidak ada sama sekali. Ini akan berdampak pada biaya tingginya notaris yang akan berdampak kepada konsumen.
Direktur Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) Panangian Simanungkalit menilai, revisi Permen No. 11/2019 memang harus dipilih Kementerian PUPR dengan maksud untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
“Ini bagus untuk konsumen dan tentunya kebijakan tersebut pasti sudah mempertimbangkan dunia usaha,” tuturnya.
Pada peraturan yang lama, proses transaksi akan jauh lebih lama karena akan ada dokumen yang bergantung pada instansi lain ketika Permen No. 11/2019 ini diberlakukan. Jika itu terjadi, tentunya akan berdampak pada menurunnya minat investasi di bidang properti.
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menilai, saat ini yang dibutuhkan oleh negeri ini adalah konsistensi antara perintah presiden dengan jajaran yang ada dibawahnya.
“Presiden Jokowi sudah sering mengarahkan agar pemerintah membuka dialog dan menampung aspirasi. Regulasi itu harus pro bisnis, jangan sampai karena ada regulasi yang tidak berimbang menghambat masuknya investasi. Karenanya semua harus konsisten untuk saling mendukung,” tutupnya.