Piutang dapat didefinisikan sebagai sejumlah harta yang dapat ditagih oleh pihak kreditor (pemberi pinjaman) dari pihak debitor (penerima pinjaman). Misalkan, si A sebagai kreditor memberi pinjaman sebesar Rp 50 juta kepada si B sebagai debitor. Maka di sini dikatakan si B mempunyai “utang” kepada si A sebesar Rp 50 juta, dan sebaliknya si A dikatakan mempunyai “piutang” kepada si B sebesar Rp 50 juta.
Para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah zakat utang/piutang tersebut dalam banyak pendapat (qaul) mengenai apakah piutang yang masih ada di tangan orang lain itu wajib dizakati atau tidak. Kami cukupkan menyebutkan pendapat yang menurut kami paling kuat (rajih) saja. (Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hlm. 165-166; Abdullah Manshur Al Ghufaili, Nawazil Al Zakah, hlm. 202-212; Abdullah Nashih ‘Ulwan, Ahkam Az Zakah ‘Ala Dhau` Al Madzahib Al Arba’ah, hlm. 50; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 23, hlm. 20-23).
Jika seseorang mempunyai piutang pada orang lain (debitor), maka hukum menzakati piutang itu bagi kreditor bergantung pada kondisi debitornya sbb;
Pertama, jika piutang itu berada di tangan orang kaya (mampu) yang tidak suka menunda-nunda mengembalikan utangnya (ghaniy ghairu mumaathil) dan dapat ditagih sewaktu-waktu oleh pihak kreditor, maka piutang itu wajib dizakati oleh kreditor meskipun piutang itu masih berada di tangan pihak debitor dan belum diterima oleh pihak kreditor, asalkan utang tersebut telah memenuhi dua kriteria; (1) nilai utangnya sudah mencapai nishab; dan (2) utang tersebut sudah mengendap selama satu tahun hijriyah (haul). (Abdul Qadim Zallum, _Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hlm. 165; Abdullah Manshur Al Ghufaili, Nawazil Al Zakah, hlm. 206).
Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Abu ‘Ubaid dalam kitabnya Al Amwal (Juz 1, hlm. 531). Imam Abu ‘Ubaid mengatakan bahwa pendapat itu telah dipilih oleh sebagian shahabat Nabi SAW, yaitu ‘Umar bin Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, Ibnu ‘Umar, Jabir bin Abdillah, dan juga oleh sebagian tabi’in, yaitu Al Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakha`i, Jabir bin Zaid, dan Maimun bin Mahran. (Abdullah Manshur Al Ghufaili, Nawazil Al Zakah, hlm. 206).
Imam Abu ‘Ubaid meriwayatkan dalam Al Amwal bahwa ‘Umar bin Khaththab berkata,”Jika zakat telah tiba haulnya, maka hitunglah piutangmu, dan juga harta yang ada padamu, gabungkan semua harta itu, lalu keluarkanlah zakatnya.” Ibnu ‘Umar berkata,”Setiap piutang yang menjadi hakmu dan kamu berharap dapat mengambilnya, maka wajib atasmu menzakatinya setiap kali piutang itu mengendap satu tahun (haul).” (Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hlm. 165).
Kedua, jika piutang itu berada di tangan di tangan orang kaya (mampu) yang enggan mengembalikan utangnya (ghaniy mumaathil), atau orang yang sedang dalam kesulitan keuangan (mu’sir) seperti orang yang pailit dll, atau orang yang mengingkari adanya tanggungan utang pada dirinya (jaahid), maka piutang itu tidak wajib dizakati oleh kreditor hingga piutang itu benar-benar kembali di tangan kreditor.
Jika pihak kreditor sudah benar-benar memegang (al qabdhu) terhadap piutang itu, barulah pihak kreditor wajib menzakatinya untuk melunasi akumulasi utang zakat pada tahun-tahun yang sudah berlalu. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Abu ‘Ubaid dalam Al Amwal (juz 1, hlm. 531) yang didasarkan pada pendapat sebagian shahabat, yaitu Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Abbas RA. (Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hlm. 166; Abdullah Manshur Al Ghufaili, Nawazil Al Zakah, hlm. 207). Wallahu a’lam.
Semoga Bermanfaat
Oleh : KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi
Salam Properti Syariah
Meraih Ridha-Nya Melalui Dakwa Anti Riba dalam Kepemilikian Hunian dan Investasi Properti